Senin, 7 April 2025, menjadi awal pekan yang cukup menegangkan bagi pasar keuangan Indonesia. Di tengah dinamika global yang belum juga mereda, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali mencatatkan pelemahan signifikan. Saat pasar baru dibuka, rupiah langsung tersungkur hingga menyentuh angka Rp17.000 per dolar AS, level terendah dalam beberapa tahun terakhir. Ini bukan cuma sekadar angka, tapi menjadi sinyal serius bagi pelaku pasar bahwa tekanan global makin nyata dan dampaknya terasa langsung ke dalam negeri.
Situasi ini langsung menarik perhatian banyak pihak. Akademisi dari Universitas Islam Indonesia (UII) menilai pelemahan rupiah kali ini tidak bisa hanya dilihat sebagai gejala eksternal semata. Ada faktor dalam negeri yang juga turut memperburuk persepsi pasar, seperti ketidakpastian arah kebijakan ekonomi, koordinasi fiskal dan moneter yang masih perlu diperkuat, serta belum pulihnya kepercayaan pasar terhadap stabilitas jangka menengah ekonomi nasional. Kombinasi ini menciptakan kekhawatiran lanjutan, baik dari sisi investor asing maupun masyarakat umum.
Melihat kondisi yang tidak bisa dianggap enteng ini, Presiden Prabowo Subianto langsung merespons cepat dengan menggelar rapat terbatas bersama jajaran kabinet ekonominya. Dalam rapat tersebut dibahas beberapa strategi jangka pendek hingga menengah yang fokus pada respons terhadap gejolak ekonomi global, termasuk kemungkinan pengaturan tarif impor untuk menjaga industri lokal. Di waktu yang hampir bersamaan, Bank Indonesia (BI) juga sudah mulai melakukan intervensi di pasar keuangan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, sekaligus menjaga persepsi pasar agar tidak makin negatif.
Pelemahan nilai tukar rupiah pada awal pekan ini bukan hanya sekadar gejolak sesaat, tapi merupakan akumulasi dari tekanan global yang makin tajam dan kerentanan domestik yang belum sepenuhnya teratasi. Rupiah dibuka melemah di angka Rp16.800 per dolar AS, namun hanya dalam hitungan jam langsung merosot hingga menembus Rp17.000 per dolar. Angka ini menjadi perhatian serius, karena level tersebut bukan hanya sekadar batas psikologis, tetapi juga menyentuh titik kritis yang selama ini coba dijaga oleh Bank Indonesia agar tidak terlampaui.
Pemicu utama dari tekanan ini adalah penguatan dolar AS yang terjadi hampir di seluruh dunia. Setelah laporan ketenagakerjaan Amerika Serikat dirilis dan menunjukkan hasil yang jauh lebih kuat dari ekspektasi, pasar global langsung merespons dengan peningkatan permintaan terhadap aset-aset safe haven. Dolar AS, sebagai salah satu aset aman paling dominan, langsung diburu oleh investor. Akibatnya, arus dana keluar dari pasar negara berkembang pun tak terelakkan, termasuk dari Indonesia.
Namun, tekanan terhadap rupiah tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada faktor eksternal saja. Ada juga persoalan dalam negeri yang memperburuk tekanan tersebut. Salah satunya adalah persepsi pasar terhadap belum solidnya arah kebijakan ekonomi nasional. Beberapa investor mulai meragukan efektivitas strategi pemerintah dalam menghadapi ketidakpastian global, terutama dalam hal menjaga daya saing ekspor, menahan inflasi, dan memperkuat fundamental fiskal. Keraguan ini menyebabkan keengganan investor untuk menahan posisi rupiah terlalu lama, apalagi dalam situasi global yang sedang tidak pasti.
Selain itu, indikator fundamental ekonomi seperti defisit neraca transaksi berjalan (current account) juga menjadi sorotan. Defisit ini mencerminkan bahwa kebutuhan valuta asing Indonesia untuk membayar impor dan kewajiban luar negeri masih lebih besar dari yang didapatkan melalui ekspor dan arus modal masuk. Dalam situasi normal, hal ini bisa diimbangi oleh cadangan devisa yang kuat. Namun ketika tekanan global meningkat dan dolar AS makin perkasa, cadangan devisa pun bisa cepat terkuras bila Bank Indonesia harus terus melakukan intervensi.
Fenomena serupa sebenarnya juga terjadi di beberapa negara tetangga. Mata uang regional seperti ringgit Malaysia, baht Thailand, dan peso Filipina juga mengalami depresiasi terhadap dolar AS dalam waktu yang hampir bersamaan. Ini menandakan bahwa pasar negara berkembang secara umum memang sedang dalam tekanan besar akibat pergeseran sentimen global. Meski begitu, tingkat pelemahan rupiah terbilang cukup dalam jika dibandingkan, sehingga tetap menimbulkan kekhawatiran bahwa faktor domestik memang memiliki kontribusi besar terhadap kondisi ini.
Investor asing pun mulai menunjukkan sinyal kehati-hatian yang lebih tinggi. Mereka mulai menahan keputusan investasi baru di sektor-sektor berisiko, seperti pasar saham dan obligasi pemerintah. Bahkan, beberapa analis menyebutkan bahwa jika level Rp17.000 terus bertahan dalam beberapa hari ke depan tanpa respons kebijakan yang tegas, bukan tidak mungkin rupiah bisa kembali melemah lebih dalam ke area Rp17.200–Rp17.300. Ini tentu bisa memicu efek domino, mulai dari peningkatan biaya impor, tekanan pada inflasi, hingga penurunan daya beli masyarakat.
Yang juga perlu dicermati adalah dampak ke sektor riil. Saat nilai tukar rupiah melemah, harga barang-barang impor akan naik, termasuk bahan baku dan barang modal untuk industri. Ini bisa menekan margin keuntungan pelaku usaha, terutama sektor manufaktur yang sangat bergantung pada bahan impor. Jika tekanan ini berlanjut, dikhawatirkan akan berdampak pada aktivitas produksi, investasi baru, hingga tenaga kerja.
Situasi ini menjadi peringatan nyata bahwa stabilitas rupiah tidak bisa hanya bergantung pada intervensi jangka pendek dari otoritas moneter. Diperlukan sinyal kebijakan yang tegas, konsisten, dan terkoordinasi antara pemerintah pusat dan Bank Indonesia. Di tengah ketidakpastian global yang terus bergerak cepat, pasar sangat membutuhkan arah kebijakan yang jelas agar kepercayaan terhadap perekonomian nasional tetap terjaga.
Menanggapi kondisi pasar yang terus bergejolak, Bank Indonesia mengambil tindakan cepat dan terukur. Gubernur BI menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan intervensi di pasar valas melalui penjualan dolar untuk menjaga nilai tukar agar tidak melemah lebih dalam. Selain itu, BI juga mengoptimalkan operasi moneter di pasar uang, termasuk menyerap likuiditas berlebih untuk menghindari tekanan pada inflasi dan menjaga stabilitas sistem keuangan.
BI juga memperluas penggunaan instrumen moneter seperti term deposit valas dan swap valas untuk menjaga stabilitas kurs. Langkah ini menjadi penting untuk memberi sinyal kuat ke pasar bahwa otoritas moneter siap mengambil tindakan lanjutan jika gejolak terus berlanjut.
Tak hanya itu, BI memperkuat kerja sama regional melalui kerja sama bilateral dan swap line dengan bank sentral negara lain untuk memastikan ketersediaan likuiditas valas tetap terjaga. Langkah-langkah ini memang belum menunjukkan efek langsung dalam menguatkan rupiah, namun mampu menahan volatilitas pasar dan menjaga psikologi investor agar tidak semakin panik.
Sementara itu, dari sisi pemerintah, Presiden Prabowo menyatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan berbagai langkah antisipatif. Dalam rapat kabinet terbatas, dibahas skenario penguatan industri dalam negeri dan peninjauan ulang kebijakan tarif impor, agar bisa meningkatkan neraca perdagangan serta mendukung pertumbuhan sektor riil di tengah tekanan global.
Pemerintah juga berupaya menjaga kepercayaan investor dan pelaku usaha melalui komitmen terhadap reformasi struktural, peningkatan efisiensi belanja negara, serta penguatan koordinasi fiskal dan moneter. Langkah ini diambil agar dampak negatif dari pelemahan rupiah tidak menjalar terlalu luas ke sektor riil, termasuk konsumsi masyarakat, investasi, dan ekspor.
Selain itu, percepatan realisasi belanja negara dan program padat karya juga didorong sebagai upaya menjaga daya beli masyarakat. Pemerintah berusaha menenangkan pasar bahwa mereka siap dan mampu menghadapi tekanan global dengan strategi yang fleksibel namun terukur.
Di tengah fluktuasi rupiah dan ketegangan pasar, suku bunga deposito perbankan nasional cenderung masih stabil. Berdasarkan data dari Bank Mandiri per 7 April 2025, suku bunga deposito untuk tenor 1 bulan berkisar antara 2,25% hingga 4,75%, tergantung dari jumlah simpanan.
Namun, sejumlah analis memperkirakan bahwa bila pelemahan rupiah berlanjut dalam beberapa pekan ke depan, maka Bank Indonesia bisa saja mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan (BI Rate) untuk menjaga daya tarik aset domestik serta mencegah aliran modal keluar (capital outflow). Langkah ini tidak ideal untuk pertumbuhan ekonomi, namun menjadi salah satu opsi terakhir jika volatilitas rupiah tak kunjung reda.
Kondisi ini membuat pelaku usaha dan masyarakat mulai berhitung ulang terhadap strategi keuangan mereka, khususnya dalam menyimpan dana atau mengatur pinjaman. Suku bunga pinjaman bisa saja mengalami penyesuaian dalam waktu dekat apabila Bank Indonesia memutuskan menaikkan suku bunga acuannya.
Situasi keuangan Indonesia per 7 April 2025 menjadi alarm penting bahwa tekanan global bisa berdampak langsung pada stabilitas domestik. Dengan rupiah yang menyentuh Rp17.000 per dolar AS, respons cepat dari pemerintah dan BI menjadi kunci untuk meredam dampak lanjutan.
Pemerintah fokus pada langkah fiskal yang mendukung industri lokal, sementara BI menjaga stabilitas nilai tukar dan likuiditas melalui instrumen moneter. Meski situasi belum sepenuhnya aman, kolaborasi antar lembaga jadi harapan utama agar ekonomi Indonesia bisa tetap tangguh di tengah ketidakpastian global.